December 29, 2019

Sosialisasi Peran dan Persepsi Kebahagiaan Wanita Nelayan di Desa Karangsong, Jawa Barat

Nelayan merupakan profesi yang memiliki resiko kerja yang tinggi. Meninggalkan daratan untuk melaut dalam kurun waktu berbulan-bulan dan terpisah dari keluarga bukanlah hal yang mudah. Kecelakaan kerja ketika pergi melaut adalah resiko yang harus mereka hadapi. Salah satu daerah yang mayoritas masyarakatnya berpencaharian sebagai nelayan terletak di Kabupaten Indramayu,

Jawa Barat khususnya di Desa Karangsong. Di desa ini, banyak warganya yang bekerja sebagai nelayan, namun kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya tidak selalu seperti yang diharapkan. Kesejahteraan dan kebahagiaan nelayan adalah hal yang diidamkan terlebih jika dihadapkan dengan pekerjaan yang memiliki resiko besar mulai dari kecelakaan kerja hingga kematian. Dengan adanya resiko kerja yang besar maka dibutuhkan tindakan untuk menghadapinya, salah satunya adalah dengan keikutsertaan peserta asuransi untuk menanggulangi ketika hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Baik perempuan maupun laki-laki memiliki preferensi masing-masing terhadap resiko. 

Kegiatan ini dilaksanakan oleh Tim Program Pengabdian Masyarakat (PPM) Universitas Padjadjaran (Unpad) yang diketuai oleh Prof. Dr. Arief Anshory Yusuf, S.E, M.sc dibantu oleh empat anggota yaitu Prof. Dr. Zuzy Anna, M.Si, Mohamad Fahmi, S.E., M.T.,Ph.D, Ahmad Komarulzaman SE., MSc., Ph.D, dan Martin Daniel Siyaranamual, S.E., DEA, Ph.D.

Banyak hal yang dapat terjadi ketika nelayan pergi melaut. Resiko yang mereka hadapi tidak sepele. Mulai dari sakit hingga berbagai kecelakaan kerja yang mengakibatkan cedera dan cacat yang tentu saja merugikan dan berdampak pada kehidupan mereka. kenyataannya di Desa Karangsong sendiri masih banyak ditemukan nelayan yang belum memiliki asuransi kecelakaan kerja atau BPJS Ketenagakerjaan, kondisi ini tentu akan menyebabkan mereka tidak mendapatkan jaminan perlindungan ketika hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Sehingga perlu adanya eksperimen untuk mengetahui mengenai preferensi resiko terhadap nelayan dan istri nelayan. Kami mengambil sampel peserta secara acak yaitu 22 perempuan (istri nelayan) dan 22 laki-laki (nelayan) masing- masing dari keluarga yang berbeda. Setelah itu kelompok KKN Indramayu melaksanakan eksperimen dengan memberikan sosialisasi ekstra serta kuisioner mengenai preferensi mereka terhadap resiko. Diakhir eksperimen mereka dihadapkan dengan dua pilihan yakni sembako atau keikutsertaan BPJS Ketenagakerjaan selama 6 bulan yang keduanya sama-sama bernilai Rp. 100.000. Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa jumlah istri nelayan yang memilih ikutserta dalam BPJS Ketenagakerjaan lebih banyak daripada suami dengan perbandingan yaitu 15 istri nelayan dan 14 suami sementara sisanya berjumlah 15 orang memilih sembako. Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa istri nelayan (perempuan) lebih tidak mau mengambil resiko daripada laki-laki.

Banyaknya jumlah warga yang berprofesi sebagai nelayan namun belum memiliki asuransi kecelakaan kerja dan BPJS Ketenagakerjaan, perlu dibutuhkan adanya koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan desa untuk memfasilitasi dan memberikan edukasi tentang pentingnya memiliki asuransi kecelakaan kerja kepada nelayan. Selain itu, melihat banyaknya jumlah istri nelayan yang memilih kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan lebih banyak dibandingkan laki-laki, maka sebaiknya sasaran sosialisasi asuransi kecelakaan kerja yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan lebih menargetkan kepada perempuan.

Artikel terkait